
PROBOLINGGO | SIGAP88 – Pemberlakuan tarif kepelabuhanan yang dilakukan BUP PT Delta Artha Bahari Nusantara atau DABN disesalkan pengguna jasa.
Sebab, penerapan itu tanpa ada kesepakatan sebelumnya, dan landasan dari Kementerian Perhubungan sebagai persetujuan berlakunya tarif.
“Itu jelas pungli. Segala sesuatu pungutan tanpa ada dasar hukum yang diberlakukan secara sepihak itu namanya pungli,” kata Achmad Nur Chisbullah, Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Probolinggo, Kamis (1/5/2025) kepada wartawan
Bahkan, lanjut Achmad, pemberlakuan tarif jasa kepelabuhanan itu menabrak petunjuk Kemenhub dalam suratnya yang ditujukan kepada PT. DABN melalui Surat Nomor: PR.302/2/2/STJ/2024, tertanggal 3 Juni 2024, Perihal: Tindak Lanjut Usulan Penyesuaian Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan oleh Badan Usaha Pelabuhan PT Delta Artha Bahari Nusantara, yang ditandatangani oleh Sigit Widodo, ST, Kepala Biro Perencanaan Sekjen Kementerian Perhubungan sebagai jawaban atas surat Konsultasi Usulan Tarif yang dilayangkan PT. DABN sebelumnya.
Dimana PT DABN sendiri sebelumnya bersurat ke Menteri Perhubungan melalui Surat Nomor: DIR 056/ DABN/UM/III/2023, Tanggal 15 Maret 2024, Perihal: Konsultasi Usulan Tarif Jasa Kepelabuhanan.
“Kalau penetapan tarif itu tidak melalui kesepakatan dengan pihak pengguna jasa, dan tidak diketahui Kementerian Perhubungan maka bisa dikatakan pungli alias pungutan liar,” imbuhnya.
“Berita Acara Kesepakatan adalah kunci dari berlakunya tarif di pelabuhan,” tandas Achmad.
Sedangkan, surat Kemenhub Nomor: PR.302/2/2/STJ/2024 itu adalah bentuk tindak lanjut dan penguatan dari Surat Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas IV Probolinggo Nomor: A1.302/50/16/KSOP.Pbl/2024, Perihal: Pengusahaan dan Kenaikan Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan di Pelabuhan Probolinggo, Tanggal 26 Maret 2024 dan Surat Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas IV Probolinggo,Nomor:A1.302/62/15/KSOP.Pbl/2024, Perihal: Penyesuaian Tarif Pelayanan Jasa Kepelabuhanan Probolinggo, Tanggal 23 April 2024, ditandatangani Kepala KSOP, Taufikur Rahman saat itu.
Kendati, dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.72/2017 dan PM 121/2018 bahwa penetapan tarif yang tidak mendapat tanggapan dari Menteri Perhubungan hingga 30 hari setelah surat disampaikan ke Menteri, maka dapat diberlakukan langsung asalkan sudah sesuai dengan berita acara kesepakatan dengan Pengguna Jasa.
“Karena beranggapan sudah lewat 30 hari, maka pada 10 Maret 2024, penetapan tarif resmi diberlakukan oleh DABN, kan juga tidak bisa begitu. Harus sesuai aturan main,” ungkap Achmad
Achmad mengaku, terakhir kemarin Maret kita layangkan surat ke KSOP untuk mempertanyakan kenapa tarif masih diberlakukan, tapi hingga kini belum ada jawaban.
“Yang kami harapkan ada mediasi dari pihak KSOP kita dikumpulkan dengan DABN, dan dibuatkan notulen rapat,” ucap Achmad.
Achmad juga menambahkan bahwa persoalan kepelabuhanan yang terjadi di probolinggo khususnya di pelabuhan DABN akan dibawah dalam rapat pleno yang akan diselenggarakan di Banjarmasin besok tanggal 2 Mei 2025.
“Besok itu ada rapat pleno APBMI se Indonesia, dan kebetulan dijadwalkan ada Dirlala juga disitu. Mungkin nanti akan saya sampaikan langsung ke pak Dirlala,” jelasnya.
Menurut Achmad, tarif yang ia bayar dalam berkegiatan di pelabuhan DABN itu terlalu tinggi bila dibandingkan dengan Tanjung Perak, Maspion, dan Banyuwangi sangat jauh. Selisihnya bisa 50 persen sampai 80 persen, bahkan ada yang dua kali lipat.
“Contoh, jasa dermaga pengenaan tarif barang di Surabaya 3.500 sedang disini (Probolinggo_red) sudah 4.800 per tonya,” sebutnya.
Begitu juga masalah ini, tidak usah jauh jauh membandingkan, jasa timbang di DABN itu Rp 1.600 per ton. Padahal sebelumnya hanya Rp 900 per ton. Pelindo saja sampai sekarang hanya Rp 900 per ton
“Awal kita dipaksa, tapi akhir akhir ini tidak karena setiap pengguna jasa menggunakan mekanisme timbang di luar,” akunya.
Terpisah, Taufikur Rahman mantan KSOP Probolinggo saat ditanyakan, apakah diera kepemimpinannya ada persoalan masalah tarif di DABN, dirinya mengakui bahwa saat itu belum ada kesepakatan dengan pihak asosiasi serta belum pula ada persetujuan dari kemenhub.
Saat ditegaskan, apakah itu artinya bisa dibilang pungli kalau seperti itu ndan, Taufikur Rahman lebih menyebut, “pungutan tanpa dasar hukum,” pungkasnya(*)