Sejarah dan Filosofi Lebaran Ketupat

154

SURABAYA | SIGAP88 – Sejarah dan tradisi Lebaran Ketupat di masyarakat Jawa sudah terbentuk sejak lama. Orang Jawa umumnya mengenal dua kali pelaksanaan Lebaran, yaitu Idul Fitri dan Lebaran ketupat. Idul Fitri dilaksanakan tepat pada tanggal 1 Syawal, sedangkan Lebaran ketupat adalah satu minggu setelahnya, tepatnya pada 8 Syawal

Meskipun ketupat selalu menjadi hidangan khas Idul Fitri di Indonesia, tidak banyak yang mengetahui sejarah dan maknanya yang menarik.Tradisi Lebaran ketupat diselenggarakan pada hari ke delapan bulan Syawal setelah menyelesaikan puasa Syawal selama enam hari.

Hal ini berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah 6 Hari di bulan Syawal. Lantas, seperti apa sejarah Lebaran Ketupat?

Dikutip dari laman NU online, sejarah Lebaran ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga adalah salah satu dari sembilan wali atau Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Saat itu, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dimulai dari prosesi pelaksanaan salat Ied satu Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim. Sementara Bakda Kupat dirayakan seminggu sesudah Lebaran.

Saat Lebaran Ketupat, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat ketupat, yaitu jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa (janur) yang dibuat berbentuk kantong, kemudian dimasak. Setelah masak, ketupat tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua.

Baca Juga  AJM Ngopi Bareng Owner PT Bawang Mas Group, Pengusaha Besi Tua dan Warung Madura

Tujuan dan makna Lebaran Ketupat adalah sebagai simbol kebersamaan dan lambang kasih sayang. Salah satu daerah yang melestarikan Lebaran Ketupat adalah Surabaya. Dirangkum dari laman kemdikbud, bentuk tradisi Lebaran Ketupat di Surabaya yaitu dengan makan kupat bersama warga masyarakat di sekitarnya yang diadakan di masjid atau mushola. Setiap warga membawa sendiri-sendiri kupat atau ketupat dari rumah kemudian diadakan acara selamatan atau bancakan.

Setelah selesai selamatan, kupat tersebut kembali dibawa pulang. Warga biasanya membeli janur untuk membungkus kupat di pasar tradisional di sekitar wilayah Surabaya. Ketupat biasanya dibuat sehari sebelum acara riyoyo kupat, di mana sebelumnya warga juga saling berkunjung ke tetangga dan sanak saudara untuk mengantar ketupat sebagai media silaturahmi.

Ketupat disajikan bersama makanan pendamping orang Surabaya mengistilahkan dengan nggowo konco) seperti kuah sup, lodeh, kare, sambel goreng ati, dan lain-lain. Dalam tradisi masyarakat Jawa, terdapat aneka macam bentuk ketupat yang dimiliki tiap-tiap daerah yang juga memiliki arti dan maksud tersendiri.

Baca Juga  Polda Jatim Gelar Donor Darah Sambut Hari Jadi Humas Polri ke-73

Sebelum Islam, masyarakat Indonesia, terutama di Jawa dan Bali, sering menggantungkan ketupat di depan pintu rumah sebagai bentuk perlindungan. Ketupat juga melambangkan rasa syukur kepada Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan dalam mitologi Hindu. Setelah Islam masuk, tradisi Lebaran dan penggunaan ketupat dipisahkan dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Sri.

Dalam tradisi Lebaran, ketupat tidak lagi digunakan untuk pemujaan Dewi Sri, melainkan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan.

Filosofi dan Makna Ketupat

Ketupat bukan hanya makanan yang disajikan untuk menyambut tamu saat Idul Fitri atau merayakan akhir puasa sunah selama enam hari pada bulan Syawal. Ketupat memiliki makna yang sangat mendalam. Nama “ketupat” atau “kupat” berasal dari bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan, yang disimbolkan oleh anyaman janur kuning yang berisi beras dan kemudian dimasak.

Beras yang dianyam janur melambangkan nafsu manusia. Beras yang diapit oleh janur memiliki makna bahwa manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya dengan hati nurani. Bagian lain dari ketupat juga memiliki makna simbolis.

Anyaman janur melambangkan kesalahan manusia, sementara bentuk segi empat melambangkan kemenangan umat Islam setelah menjalani puasa selama satu bulan.

Baca Juga  Buntut Bebas Vonis Ronald Tannur, Dikabarkan Kejagung Amankan Ketua PN Surabaya?

Butiran beras yang dibungkus dengan janur juga merupakan simbol dari kebersamaan dan kemakmuran. Penggunaan janur sebagai pembungkus memiliki makna tersendiri.

Kata “janur” dalam bahasa Arab berasal dari “jaa a al-nur,” yang berarti telah datang cahaya. Masyarakat Jawa mengartikan “janur” sebagai “sejatine nur” (cahaya). Dalam konteks yang lebih luas, hal ini menggambarkan keadaan suci manusia setelah mendapatkan pencerahan (iman) selama Ramadan.

Anyaman janur yang saling melekat juga mengajak untuk menjaga hubungan baik dan memperkuat persaudaraan tanpa memandang perbedaan sosial. Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk segi empat ketupat memiliki makna “kiblat papat limo pancer,” di mana “papat” diartikan sebagai simbol arah mata angin utama, yaitu Timur, Barat, Selatan, dan Utara. Hal ini mengingatkan manusia agar tidak melupakan arah kiblat dalam perjalanan hidupnya.

Ketupat sering disajikan dengan kuah santan yang diberi warna kuning keemasan dengan tambahan kunyit, melambangkan emas dan keberuntungan dalam tradisi Cina. Selain itu, santan atau “santen” dalam bahasa Jawa juga memiliki makna “nyuwun ngapunten,” yang berarti memohon maaf.

Itulah sejarah dan filosofi lebaran ketupat semoga bermanfaat

sigap88.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE